Polemik mengenai game online kembali mencuat ke permukaan setelah muncul kebijakan kontroversial yang mengaitkan perilaku pelajar bermasalah dengan penggunaan game online secara berlebihan. Salah satu langkah yang diambil adalah memasukkan pelajar-pelajar tersebut ke barak militer sebagai bentuk pembinaan disiplin. Kebijakan ini memicu perdebatan luas di masyarakat, terutama di kalangan pemerhati pendidikan, psikolog anak, hingga pelaku industri esports.
Baca ini juga :
» Gagal ke Playoff MPL ID S15, EVOS Lepas Seluruh Pelatih!
» Angel Resmi Tinggalkan EVOS Setelah 7 Tahun, Akhiri Perjalanan Panjang Sebagai Brand Ambassador
» Inilah Bracket Resmi Playoffs MPL Indonesia Season 15!
» Team Liquid Kehilangan Sponsor Honda Usai Cuitan Kontroversial Pemainnya
» Klasemen MPL ID S15 Week 8: 6 Tim Lolos ke Playoff, 3 Tim Harus Pulang Lebih Awal
Langkah ini dinilai sebagian pihak terlalu ekstrem dan tidak menyentuh akar permasalahan sebenarnya, yakni kurangnya edukasi digital, pengawasan orang tua, dan akses tak terbatas terhadap konten digital. Di sisi lain, banyak pula yang menilai bahwa disiplin militer bisa menjadi solusi untuk mengatasi perilaku menyimpang akibat kecanduan game online.
Padahal, game online, khususnya dalam bentuk esports, telah berkembang pesat dan diakui sebagai cabang kompetisi yang mampu mengharumkan nama bangsa. Tidak sedikit atlet esports Indonesia yang telah menorehkan prestasi di tingkat nasional maupun internasional, membawa pulang medali dan mengharumkan Merah Putih di kancah global. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa game online tidak selalu membawa dampak negatif, melainkan dapat menjadi sarana pengembangan bakat dan karier profesional jika dikelola dengan baik.
Namun demikian, Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menegaskan bahwa game online tidak bisa dikategorikan sebagai olahraga dalam arti konvensional. Menurutnya, game online tidak melibatkan aktivitas fisik secara langsung dan tidak menyebabkan pelakunya berkeringat seperti olahraga pada umumnya. Pernyataan ini turut menimbulkan pro dan kontra, mengingat esports telah diakui oleh banyak negara dan lembaga internasional sebagai bentuk olahraga digital.
Lebih lanjut, Meutya Hafid juga menggarisbawahi potensi adiksi dari game online, terutama pada anak-anak dan remaja. Untuk mengantisipasi dampak negatif tersebut, pemerintah berencana menetapkan batasan usia bagi pengguna maupun atlet game online. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi generasi muda dari risiko ketergantungan serta mengarahkan mereka pada pemanfaatan teknologi secara bijak.
Hal serupa juga disampaikan oleh tokoh politik Dedi Mulyadi, yang mendukung adanya Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tumbuh Kembang Anak (Tunas). Ia menyebut bahwa peraturan tersebut diharapkan mampu membatasi akses anak terhadap game online secara lebih ketat. Menurutnya, langkah ini penting demi menciptakan lingkungan digital yang sehat dan mendukung pertumbuhan mental serta emosional anak.
Secara keseluruhan, kontroversi ini menunjukkan bahwa game online merupakan fenomena kompleks yang tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Di satu pihak, game online bisa menjadi ladang prestasi dan profesi baru, namun di sisi lain, juga menyimpan potensi bahaya jika tidak dikendalikan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah, orang tua, pendidik, serta pelaku industri untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat dan produktif bagi generasi muda Indonesia.
Recommended by Kotakgame