Warga Grangor berdiri di atas bongkahan es untuk melihat kobaran api melalap Trostan. Asap mengelilingi mereka, kota yang telah menjadi pusat perdagangan kristal Gythia telah menjadi kobaran api. Mereka melemparkan emas Gythia ke dalam celah es sebagai bekal bagi orang-orang yang telah mati. Koin-koin sudah menjadi tidak berguna dimanapun.
Para sesepuh berkumpul, yang paling tua mulai menceritakan cerita yang akan terus diceritakan untuk generasi-generasi selanjutnya:
“Dulu ini adalah Trostan, tapi segera ini akan terlupakan.”
“Para sesepuh tahu,” mereka bernyanyi dengan serentak.
“Manusia datang untuk menggali lubang di gletser. Mereka datang untuk merampas kristal dari bumi. Mereka datang untuk meminum dari sumur,” lanjut wanita tertua lain dengan suara nyaring.
Baca ini juga :
» Vainglory: Legion Of One Akan Hadir Untuk Kamu Yang Sudah Kangen Dengan Vainglory
» Update Terbaru Vainglory! Cross-Platform, Pemain PC dan Smartphone Akan Ketemu Dalam Satu Game
» Super Evil Megacorp akan Menghadirkan Vainglory Versi Windows dan Mac Awal Tahun 2019
» Tak Ingin Tertinggal, Secara Resmi Vainglory akan Hadir di Platfom PC!
» Hero Baru Vainglory, Anka si Assassin Lincah dengan Dagger Mematikannya!
“Para sesepuh tahu.”
“Kota menjadi bobrok karena keserakahan,” sahut yang lain.
“Para sesepuh tahu.”
“Leluhur mereka berbohong terlalu jauh,” ratap tertua.
“Para sesepuh ta …”
Sebuah ledakan es dari puncak menggetarkan tanah dan menghentikan nyanyian mereka. Semua mata berpaling dari kobaran api dan melihat keatas. Alih-alih longsoran salju, yang muncul dengan angin dingin adalah seorang laki-laki, bungkuk, dengan kulit keriput. Dengan kuku panjang seperti cakar dia menggenggam sebuah tongkat. Disekitar pundaknya dia mengenakan kulit Grangor. Meskipun tidak ada yang pernah melihat dia sebelumnya, mereka semua tahu dia pertapa yang sulit ditemui. Reim, mereka memanggilnya, penguasa es, pelahap Grangor, teror dari Kall Peaks. Meskipun jumlah mereka jauh lebuh banyak, para Grangor mundur, senjata-senjata siap, sementara penyihir es menghembuskan napas dengan marah yang menjadi embun es.
“Dimana anak laki-laki itu?” dia menggeram.
“Ibunya tahu,” jawab yang tertua, tapi hanya itu ekspresi dari Grangor. Yang berarti ada sesuatu yang tidak diketahui.
Dengan olok-olokan, Reim berpaling dari para Grangor dan menuruni sisi gunung, menggerutu sepanjang perjalanan. Sungai yang membatasi kota yang terbakar menjadi hitam karena abu. Reim mengentakkan tongkatnya ke tanah dan sungai itu menjadi es. Dia berjalan di atasnya, sambil terbatuk-batuk, menuju kota.
“Nak!” dia memanggil. “Hey nak!”
Kota yang ramai dengan jual beli dan pengunjung pagi itu sekarang, hanya hewan-hewan berlarian dari kandang mereka yang terbakar menuju sungai.
Penyihir itu berjalan melewati rumah-rumah yang hancur dengan meninggalkan bekas es di tanah, terus memanggil dan menggerutu. Dia berhenti dan melihat pada menara sihir, menara kuno Gythia yang gemerlapan, pusat dari pemerintahan Trostan. Puncak ketiga telah ambruk sisanya telah hangus. Mengelilingi kota, dia menaikkan suaranya. “Hey nak, kau terlambat! Dimana kau?” dia terus memanggil sampai dia tiba di sumur halcyon, satu-satunya yang tidak terpengaruh kobaran api. Udara beracun muncul dari kota yang terbakar. Disana, di tepi sumur, ada perempuan kecil dengan wajah yang tertutupi kulit binatang yang besar Grangor. Dengan satu tangan dia menggenggam lentera yang membuat bayangan menyeramkan.
“Ay!” teriak Reim. “Siapa yang berkuasa disini?”
Perempuan menoleh dengan wajah kotor dengan abu, dengan air mata, menuju dia, memperlihatkan sisa jubahnya habis terbakar, jubah dari seorang Penyihir Tinggi dari Gythia. Dia menatap ke atas, meskipun dia jauh lebih kecil dari dua yang lainnya, pertanyaan dari Reim sudah dijawab.
“Anak laki-laki itu,” dia bersikeras.
Perempuan itu menggelengkan kepalanya dan menggenggam lengannya. “Dia sudah pergi(mati?),” dia menjawab, lalu menatapnya. “Semuanya telah musnah.”
(KotakGame)