Setelah kehancuran Trostan, Lyra dan Reim harus kembali kerumah…
Di pantai dari Trostan yang berlumpur, Lyra menyaksikan seorang Grangor mencari jalan melewati kota hantu itu, melewati sumur berkekuatan yang bercahaya biru dan naik mengikuti gletser. Berhari-hari mereka telah memilah-milah diantara reruntuhan yang berasap, menyeka abu dari tiap wajah orang sudah mati, tapi Samuel tidak ditemukan.
Penyihir es tua berjalan disampingnya, dengan tongkatnya, alis matanya naik. "Tidak akan ada yang menyalahkanmu jika kau tidak kembali."
Lyra tanpa ragu. "Aku adalah seorang Gythia."
"Uh huh." Reim melakukan gestur seperti tidak peduli.
"Ini adalah saatnya," dia berkata.
Reim merentangkan tangannya dari telapak tangannya, terbentuk sebuah bola es. Napas Lyra membeku ditenggorokannya. Lengannya merinding. Embun muncul dari jari-jari Reim es tajam terbentuk dijenggotnya es melapisi tongkatnya dan dia menghentakkannya ke lumpur. Tanah bergetar, bongkahan-bongkahan es besar yang lancip muncul ditengah Trostan, membelah langit, menutupi sumur itu.
"Giliranmu," ujar Reim. "Hancurkan."
Buku mantranya berkedip dan terbuka diantara tangannya mantra kuno diucapkan dari mulutnya. Pembatas sihir kota mulai memudar di langit, bergolak di udara dan kembali ke bukunya. Telah dijaga selama berabad-abad, awan yang mencair bergerak turun, membanjiri kota yang telah hancur itu, menciptakan longsoran salju yang menyelimuti reruntuhan kota.
Kedua penyihir itu menaiki sebuah kapal. Lyra memeluk buku mantranya dan menyaksikan hasil kerja keras seumur hidupnya semakin menjauh. Awalnya kota beku itu merupakan tempat para penambang, pencuri dan gerombolan orang-orang yang ingin cepat kaya, tapi dalam perlindungan Lyra, kota itu menjadi berwarna. Para pendatang dari Gythia memenuhinya dengan bangunan, patung, tanaman, jual beli yang sah dan hukum yang sah juga. Menara sihir dari Trostan, mirip seperti ditempat asalnya, dindingnya yang melingkar dipenuhi dengan buku dan seni, yang sekarang hanyalah abu.
Baca ini juga :
» Vainglory: Legion Of One Akan Hadir Untuk Kamu Yang Sudah Kangen Dengan Vainglory
» Update Terbaru Vainglory! Cross-Platform, Pemain PC dan Smartphone Akan Ketemu Dalam Satu Game
» Super Evil Megacorp akan Menghadirkan Vainglory Versi Windows dan Mac Awal Tahun 2019
» Tak Ingin Tertinggal, Secara Resmi Vainglory akan Hadir di Platfom PC!
» Hero Baru Vainglory, Anka si Assassin Lincah dengan Dagger Mematikannya!
20 Tahun sebelumnya...
Wanita peramal itu terlihat sedih dibawah kerudung putihnya ketika dia melepaskan merpati-merpatinya dari sangkar emas tanpa upacara apapun. Ketika mereka terbang ke tiang kapal, dia menganggap itu adalah sebuah pertanda baik. Para penjelajah dan penambang ini telah menempati area dari Kall Peaks yang membeku, dimana hanya Grangor yang telah berkelana kesini sebelumnya, sebelum kristal ditemukan. Jauh diatas, pada tepi pegunungan, para kucing buas itu melihat. Jika Lyra berhasil, lebih banyak kapal akan mengikutinya dari Gythia dengan para calon penduduk Trostan: arsitek, pedagang, artis, petani dengan benih-benih dan bekal hidup mereka, lebih banyak penambang dan pembangun kapal, guru dan fisikawan untuk anak-anak mereka.
Lyra mengenakan jubah bulu berwarna merah. Musim semi di Kall berarti penuh dengan salju, yang memenuhi laut dimana pidatonya tentang kemegahan dari kerajaan dan harapan untuk masa depan yang makmur ditinggalkan.
Belum pernah sebelumnya banyak mata yang menatapnya. Belum pernah sebelumnya begitu banyak tanggung jawab dipundaknya. Belum pernah sebelumnya dia menginginkan kegagalan.
"Jika ada satu hari untuk itu, biarlah itu menjadi hari ini," gumamnya.
"Apa?" tanya Grangor pemandunya. Meskipun tertutupi dengan bulu, dia terlihat sama dengan senyumnya yang memperlihatkan gigi-giginya.
"Aku sudah mempersiapkan pidato," Dia berteriak balik. "Aku pikir mereka akan mendengarnya!"
"Lakukan saja!" Dia mengepalkan kedua tangannya.
Lyra memfokuskan pandangannya pada gletser yang bercahaya. Dia mengambil napas dalam-dalam, napas dingin ke dalam paru-parunya dan menahannya lalu menghangatkannya, sebelum melepaskannya menjadi kabut. "Datanglah, Ambrosius," dia berbisik, dan buku mantranya terbang dari jubahnya, melayang diatas telapak tangannya. Mata Grangor itu berputar ke atas ketika dia membisikkan mantra yang ada dibukunya.
Napas dalam yang dingin lainnya dan salju yang menerpanya, dan kemudian jubah bulu merahnya menjadi hangat dan kering, lalu rambutnya, dan dia mengumpulkan kehangatan diantara tangannya dan membuat keinginan, seperti biasa, yaitu dia ingin mampu menggenggamnya selamanya.
Kedua tangannya membentang dan cahaya muncul dari ujung jarinya. Penghalang yang melengkung terbentuk pada pembatas yang akan segera menjadi Trostan, dan salju jatuh disekitar pelindung ini seperti air yang mengalir diatas sebuah bola kaca. Awan-awan melebur di dalam benteng hangatnya, penduduk menjadi gembira melihat matahari, dan gletser bercahaya yang dialiri Halcyon mulai retak dan mengalir menuju apa yang sudah diketahui, generasi selanjutnya, sungai kembaran dari Trostan.
(KotakGame)